Lembaran Kisah Kelas

Bayangan Dalam Diri

Malam itu adalah awal dari perubahan dalam hidupku…

“Apa yang sedang kau lakukan?! Daripada membuang waktumu seperti itu, lebih baik kau belajar!”

“Aku hanya ingin mencoba menggambar, aku juga butuh waktu untuk diriku sendiri ayah! ”

Itu adalah pertengkaran pertama Arka dalam hidupnya. Ia melarikan diri ke loteng untuk menyendiri. Loteng itu dipenuhi dengan debu, tercium aroma kayu yang sudah tua dan keheningan yang ganjil. Arka berdiri disana dengan memegang buku sketsanya erat-erat. Di tengah-tengah pikirannya yang kacau, ia melihat sebuah cermin tua di sudut ruangan. Bingkainya terbuat dari kayu yang diukir dengan indah, dan kacanya terlihat masih bagus seperti baru.

“Kenapa cermin sebagus ini diletakkan di loteng?” gumamnya, karena rasa penasaran, ia mendekati cermin itu dengan perlahan-lahan.

Saat ia berdiri di depannya, pantulan dirinya muncul, tapi seperti ada yang salah. Bayangan itu tersenyum padanya seolah olah ia hidup di dalam cermin dan dapat melihat Arka.

“Halo, Arka.” Sapa bayangan itu.

Arka tersentak mundur dan hampir menjatuhkan buku sketsanya.

“Siapa kau?” Tanya Arka dengan suara yang bergetar.

“Aku? Aku adalah kamu. Aku adalah bagian dari dirimu yang engkau sembunyikan.” jawab bayangan itu sambil mendekat ke permukaan kaca. Seolah ia ingin keluar dari cermin itu.

“Bukankah melelahkan menjadi anak yang baik? Bukankah melelahkan untuk memenuhi harapan semua orang?”

Kata kata itu seperti jarum yang menusuk hati Arka.

“Tidak ada salahnya menjadi orang yang baik.” Jawab Arka dengan suara yang bergetar.

Bayangan itu tertawa. “Benarkah? Lalu, kenapa engkau merasa kesal saat teman-temanmu menyuruhmu untuk melakukan semua pekerjaan? Kenapa engkau marah saat ayahmu menyuruhmu untuk belajar? Aku tahu dirimu lebih dari siapapun Arka, karena itu aku akan membantumu.”

“Membantuku?”

“Ya, membantumu untuk menjadi dirimu sendiri dan memberi mereka pelajaran.” Senyum bayangan itu berubah menjadi licik. “Aku akan menunjukkan caranya. Mereka tidak akan memanfaatkanmu lagi. Kau hanya perlu mendengarkanku.”

Arka terdiam. Jauh dalam lubuk hatinya, ia menginginkan hal itu. Namun, tatapan bayangan itu membuatnya merasa tidak nyaman.

“Aku tidak perlu bantuanmu.” Balas Arka mencoba tegas.

Bayangan itu menyeringai. “Engkau akan membutuhkanku Arka, tunggu saja.”

Kaca cermin itu bergetar dan membuat Arka mundur menjauh. Saat ia mengalihkan pandangannya, bayangan itu hilang. Meninggalkan pantulan dirinya yang biasa. Tapi, kejadian ini tak bisa lepas dari pikiran Arka. Rasa dingin merayap di punggungnya seolah itu adalah sebuah peringatan.

Sejak hari itu, hal-hal aneh mulai terjadi. Arka merasa sulit mengendalikan emosinya. Saat temannya memintanya untuk mengerjakan tugas kelompok, Arka tiba-tiba membentaknya, dan membuat seisi kelas terdiam. Saat ibunya meminta untuk membantunya, ia menjawabnya dengan nada yang kasar. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya, seolah-olah ia bukan dirinya.

Namun, yang paling mengerikan adalah ketika bayangan itu muncul di cermin manapun, tidak hanya di loteng. Di setiap cermin yang ia lewati, ia melihat bayangan itu tersenyum seolah menikmati kekacauan itu.

Arka merasa gundah. Di satu sisi, ia menikmati bagaimana orang orang mulai memperhatikannya dan tidak lagi meremehkannya. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa itu bukanlah dirinya yang sebenarnya.

“Ini salah.” Gumamnya suatu malam, di depan cermin kamarnya.

Bayangan itu muncul lagi. “Salah? Tidak Arka, ini hanyalah dirimu yang sebenarnya. Kau hanya takut untuk menunjukkannya.”

“Tapi aku menyakiti orang-orang di sekitarku.”

“Bukankah mereka telah menyakitimu selama ini? Kau hanya takut untuk mengakuinya. Kau pikir dengan menjadi baik, mereka juga akan baik kepadamu? Mereka selama ini hanya memanfaatkanmu.”

Arka merasa kesal dan bingung. Perasaannya campur aduk. Ia tahu apa yang dikatakan bayangan itu benar, tapi ia juga tahu bahwa jika ia mengikutinya hanya akan merusak dirinya.

Perlahan, tekadnya tumbuh. “Aku tidak akan menjadi sepertimu, aku tidak butuh bantuanmu.”

Bayangan itu tertawa. “Aku adalah dirimu Arka, kau tak bisa menyingkirkanku.”

Arka merasa tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berlari ke loteng dan berdiri di depan cermin tua itu. Cermin yang menyebabkan semua keganjilan ini.

“Kau mungkin memang bagian dari diriku, tapi aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan hidupku.” Ia mengambil nafas dalam-dalam dan memukul cermin itu dengan sekuat tenaga.

Pecahan kaca berhamburan, tetapi yang Arka lihat di dalamnya adalah pantulan dirinya yang lebih tegas, bukan bayangan yang menyeramkan. Untuk pertama kalinya, Arka merasa lega dan bebas.

Semenjak hari itu, ia berdamai dengan bayangan itu dan menerima bahwa bayangan itu adalah bagian dari dirinya. Arka mencoba untuk jujur dengan apa yang ia rasakan. Ia mulai belajar untuk mengatakan “tidak” dengan cara yang baik. Ia juga mulai membagi waktu untuk belajar dan waktu untuk dirinya sendiri. Walaupun Arka masih merasa takut sesekali, namun ia tahu bahwa ia harus menghadapi itu untuk menjadi dirinya sendiri.